PENDIDIKAN - Transformasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan Badan Layanan Umum (BLU) telah membawa dinamika baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan status ini, kampus diberikan fleksibilitas lebih dalam mengelola keuangan, sumber daya, dan tata kelola akademiknya. Namun, perubahan ini juga memicu kekhawatiran bahwa PTN semakin menjauh dari amanat konstitusi yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketika PTN mulai beroperasi layaknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), muncul pertanyaan kritis: Apakah pendidikan tinggi masih berfungsi sebagai hak dasar warga negara, atau justru menjadi komoditas bisnis yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar?
Dinamika Perubahan PTN ke PTN BH dan BLU
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, beberapa PTN diberikan status PTN BH, yang berarti mereka memiliki otonomi lebih luas dalam aspek akademik, organisasi, keuangan, dan aset.
Sementara itu, PTN BLU memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, tetapi tetap terikat dengan regulasi pemerintah dalam hal anggaran dan pengawasan.
Salah satu tujuan utama perubahan ini adalah meningkatkan daya saing PTN di tingkat global, mempercepat inovasi, dan mengurangi ketergantungan pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
PTN BH dapat mengelola sendiri pendapatan mereka, mencari sumber dana eksternal, dan bahkan melakukan investasi. Di sisi lain, PTN BLU memiliki fleksibilitas dalam penggunaan anggaran, termasuk dalam menentukan biaya pendidikan yang dikenakan kepada mahasiswa.
Namun, kebijakan ini justru menimbulkan konsekuensi yang mengarah pada komersialisasi pendidikan. Kampus yang sebelumnya lebih berorientasi pada pembelajaran dan riset kini dituntut untuk mencari sumber pendanaan alternatif, yang sering kali melibatkan kenaikan biaya pendidikan bagi mahasiswa.
Pergeseran Orientasi: Mahasiswa Sebagai "Pelanggan"
Dengan adanya tuntutan kemandirian finansial, PTN BH dan BLU mulai menerapkan berbagai kebijakan yang menyerupai praktik bisnis. Biaya kuliah naik secara signifikan, skema uang pangkal diperkenalkan, dan berbagai program kelas internasional serta jalur mandiri menjadi pintu masuk utama bagi mereka yang mampu membayar lebih tinggi.
Orientasi ini berisiko menggeser paradigma pendidikan tinggi dari hak dasar menjadi layanan eksklusif bagi kelompok tertentu. Mahasiswa bukan lagi dianggap sebagai subjek akademik yang berhak memperoleh pendidikan berkualitas secara adil, tetapi lebih sebagai "pelanggan" yang harus membayar harga untuk mendapatkan layanan tersebut. Kampus pun semakin berorientasi pada keuntungan, dengan berbagai program kemitraan industri yang lebih menguntungkan bagi institusi ketimbang bagi mahasiswa sebagai peserta didik.
Dampaknya terlihat jelas: kesenjangan sosial dalam akses pendidikan tinggi semakin melebar. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan beasiswa, sementara mereka yang berasal dari keluarga kaya memiliki akses lebih mudah melalui jalur mandiri yang mahal. Padahal, konstitusi telah dengan jelas menegaskan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa diskriminasi ekonomi.
Kontradiksi dengan Amanat UUD 1945
Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan seharusnya menjadi investasi negara dalam membangun sumber daya manusia, bukan justru menjadi beban finansial bagi rakyat.
Namun, dengan kebijakan PTN BH dan BLU, tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan yang terjangkau justru berkurang. Alih-alih menjamin akses pendidikan tinggi yang inklusif, kebijakan ini malah mendorong PTN untuk mencari keuntungan sendiri, bahkan dengan cara yang berpotensi memberatkan mahasiswa. Jika tren ini terus berlanjut, maka amanat UUD 1945 bisa menjadi sekadar wacana tanpa implementasi yang nyata.
Solusi: Membangun Keseimbangan antara Kemandirian dan Aksesibilitas
Pendidikan tinggi yang berkualitas dan berdaya saing global memang membutuhkan otonomi dan fleksibilitas dalam pengelolaan. Namun, negara tetap harus hadir untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tidak menjadi hak istimewa bagi kelompok tertentu saja. Oleh karena itu, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Subsidi Silang yang Adil: PTN BH dan BLU perlu menerapkan mekanisme subsidi silang yang lebih berkeadilan, di mana mahasiswa dari keluarga mampu membayar lebih tinggi, sementara mahasiswa kurang mampu mendapatkan pembebasan biaya atau keringanan yang signifikan.
2. Penguatan Beasiswa yang Tepat Sasaran: Pemerintah harus memperbanyak skema beasiswa yang tidak hanya berbasis prestasi, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi. Beasiswa harus diberikan dengan skema yang transparan dan akuntabel agar tepat sasaran.
3. Evaluasi Kebijakan UKT dan Jalur Mandiri: Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) perlu dievaluasi agar tidak membebani mahasiswa. Demikian pula, jalur mandiri yang selama ini menjadi sumber pendanaan besar bagi PTN sebaiknya tetap dikontrol agar tidak menjadi celah bagi komersialisasi pendidikan.
4. Komitmen Negara dalam Pendanaan PTN: Alih-alih sepenuhnya membebaskan PTN untuk mencari pendanaan sendiri, pemerintah harus tetap berkomitmen menyediakan anggaran yang cukup agar PTN tidak sepenuhnya bergantung pada biaya dari mahasiswa.
5. Peningkatan Efisiensi Pengelolaan PTN: PTN harus lebih transparan dalam pengelolaan anggaran dan lebih efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Kampus perlu berinovasi dalam mencari sumber pendapatan tanpa membebani mahasiswa, seperti optimalisasi kerja sama riset dan pengelolaan aset kampus.
Kesimpulan
Transformasi PTN menjadi PTN BH dan BLU membawa tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Jika tidak dikendalikan dengan baik, kebijakan ini dapat menggeser orientasi pendidikan tinggi dari hak dasar menjadi layanan komersial yang hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu.
Negara harus kembali kepada amanat UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai otonomi kampus justru menjadi jalan menuju komersialisasi pendidikan, di mana mahasiswa tidak lagi dipandang sebagai peserta didik, tetapi sebagai objek bisnis yang diperlakukan layaknya pelanggan. Pendidikan tinggi harus tetap menjadi alat pemerataan sosial, bukan alat yang memperdalam jurang kesenjangan.
Jakarta, 21 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi