ANAK BELAJAR DARI RUMAH; MEDIA ORANG TUA MENGASAH DIRI DI TENGAH PANDEMI

ANAK BELAJAR DARI RUMAH; MEDIA ORANG TUA MENGASAH DIRI DI TENGAH PANDEMI

Oleh : Lyna Novianti, S.Th.I (Wabendum Bidang Internal PERISAI/Pengajar di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor)

Panjang bila berbicara tentang dampak corona yang mencemaskan ini. Gugus Tugas Percepatan Penangangan Covid-19 telah melaporkan jumlah korban terpapar virus corona yang meningkat dari hari ke hari. Sebagian orang mengantisipasi dan sebagian yang lain tidak percaya diri, di antara keduanya ada yang sibuk menghakimi. Dalam waktu yang sama saat beberapa daerah masih zona merah, pemerintah sudah memberlakukan proses transisi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan menerapkan new normal dengan alasan untuk menekan angka krisis sosial-ekonomi.

New normal yang ditandai dengan dibukanya kembali sarana publik tentu akan mengubah tatanan baru. Apalagi bila penerapannya disaat masih pandemi covid-19 yang justru dikhawatirkan menjadi bumerang dalam proses pengendalian virus corona. Sebab konsep kebijakan untuk menjalani kehidupan ‘normal’ saja dinilai belum jelas. Hal ini akan sangat mengancam kondisi daerah yang belum bisa diberikan kelonggaran.

Beberapa kementerian telah menyatakan matang menyusun protokol kesehatan guna melaksanakan new normal era tersebut, di antaranya ialah Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan. Semua pekerjaan yang berkaitan dengan aspek di atas kembali diaktifkan, serta sejumlah tempat usaha mulai beroperasi. Lalu bagaimana dengan aspek pendidikan? Apakah new normal juga akan mengembalikan siswa belajar di sekolah?

 

Proses Pembelajaran anak beralih dari rumah

Pada 02 Maret 2020 Presiden RI mengumumkan bahwa Severa acute respiratory syndrome corona virus 2 (SARS-CoV-2) terindikasi di Indonesia. Duka Cina, Korea Selatan, dan Italia yang sebelumnya kita saksikan melalui layar televisi kini hadir di sekitar kita. Virus tersebut lalu dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO pada 11 Maret 2020, yang mampu menyebar ke beberapa negara atau benua dan umumnya menjangkiti banyak orang. Oleh sebab itu, untuk memutus rantai penyebaran covid-19 maka semua aktifitas dialihkan di rumah saja salah satunya ialah belajar dari rumah. Sehingga sebagian besar negara menutup aktifitas belajar-mengajar di sekolah.

Harus kita akui bahwa adanya ketidaksiapan pemerintah, tenaga pendidik, orang tua, dan bahkan anak terhadap kegiatan pendidikan dalam kondisi ini. Tetapi belajar dari rumah menjadi pilihan yang memungkinkan untuk melindungi anak-anak dari penularan virus. Sebab, selain orang dewasa di atas 45 tahun, bayi – remaja usia 16 tahun juga rentan terpapar virus corona.

Terhitung tiga bulan lamanya Proses Belajar Mengajar (PBM) semester Genap dilaksanakan dari rumah. Proses yang biasanya dilakukan bertatap muka bersama guru berganti dalam jaringan (daring) dari rumah, tentu mejenuhkan bagi anak-anak. Apalagi tidak semua anak memahami bahwa program belajar dari rumah tersebut adalah bentuk masa efektif sekolah. Begitu juga bagi orang tua dan guru, bukan tanpa kesulitan tetapi juga cukup menguras formula demi menjaga esensi pembelajaran. Walaupun tidak seefektif proses belajar mengajar di sekolah, namun tanpa terjalin sinergitas antara guru, anak, dan orang tua, belajar dari rumah tidak akan berlangsung.

Banyak tantangan yang menyertai: mulai dari ketersediaan media elektronik yang mamadai, jangkauan akses internet di desa, hingga kesulitan finansial untuk memenuhi kuota. Tanpa kita sadari bahwa di antaranya adalah bagian dari tantangan zaman yang memang harus kita hadapi. Tantangan yang sekaligus menjawab sejauh mana kita mencapai akselerasi pemanfaatan teknologi.

 

Peran Orang tua dalam PBM di tengah Pandemi

Ungkapan “guru adalah orang tua di sekolah, sedangkan orang tua adalah guru di rumah” akan terus relevan di dunia pendidikan sekalipun masa pandemi ini. Belajar daring dari rumah menuntut peran dominan orang tua sebagai pembimbing PBM. Tentu melelahkan dan bisa saja membosankan bagi kebanyakan orang tua.

Namun pada hakikatnya, peran kedua orang tua sangat menentukan perkembangan jiwa anak. Perkembangan tersebut akan terbentuk bila emosi anak mendapatkan dukungan positif atas haknya. Selain konteks pengasuhan, lingkungan dan kondisi keluarga juga menjadi faktor aktualisasi potensi anak (kognitif, sosial, dan emosi) dan yang lebih penting yaitu pembentukan akhlak yang baik.

Maka secara pasti, PBM anak dari rumah akan menjadi kesempatan yang berharga bagi orang tua untuk kembali menguatkan relasi yang berkualitas di rumah, seperti: orang tua dapat lebih mengenal kemampuan akademik anak, mempererat kebersamaan, mengembangkan kreatifitas dalam mengeksplor potensi anak, juga kesempatan untuk menyampaikan muatan positif lainnya.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa keberadaan anak bagi orang tua adalah: sebagai perhiasan orang tua (QS. Al-Kahfi: 46, QS. Al-Furqon: 74), sebagai cobaan atau ujian (QS. Al-Anfal: 28, QS. Al-Thaghabun: 15), Tanggungjawab orang tua (QS. An-Nisa: 9), dan bahkan menjadi musuh (Q.S At-Thaghobun: 14). Begitu pula setiap anak meneladani apa yang dilakukan oleh kedua orang tua. Itulah sebabnya, anak adalah cerminan orang tua. Sehingga di masa pandemi ini, sebagai orang tua harus siap menjadi madrasah yang terbaik bagi anak-anaknya. Untuk itu, selain mengasih dan mengasuh, juga betapa pentingnya mengasah diri untuk menjadi pembimbing terbaik. Sebab, selain memastikan kebutuhan lahir, juga senantiasa memerhatikan kebutuhan batinnya seperti iman, ilmu, dan amal.

Selaras dengan kondisi pandemi yang belum dinyatakan berakhir, new normal sudah mulai diterapkan di berbagai aspek. Bila pada aspek pendidikan mengaktifkan kembali PBM secara langsung maka diperlukan kesiapan matang, khususnya bagi anak-anak pada jenjang SD yang masih butuh pengawasan penuh. Melangsungkan proses pembelajaran di sekolah saat ini adalah bukan hal enteng. Lantas bila anak-anak kembali ke sekolah siapa yang menjamin kesehatan, keamanan dan keselamatannya? Ilmu masih bisa dicari tetapi nyawa tidak bisa ditoleransi.